Dua bulan paska proklamasi, tepatnya 11 Oktober 1945, Depok diserbu para pejuang yang menginginkan republik baru. Orang Depok ditawan. Harta benda mereka dijarah. Bagi yang membangkang dibunuh. Hura-hara ini dikenal dengan nama GEDORAN DEPOK!
Kronologis peristiwa itu dicatat oleh intelejen Belanda dan dilaporkan kepada Algeemeen Secretarie (serupa Sekretariat Negara di Indonesia sekarang). Tentara NICA yang datang membonceng Sekutu pada September 1945 ke Indonesia juga mencatat kronologi peristiwa GEDORAN DEPOK. Buku ini memuat utuh dua teks kuno berbahasa Belanda dan Inggris tersebut.
Buku ini juga menceritakan jual beli serangan antara pejuang (laskar rakyat, BKR dll) yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan pasukan NICA dan KNIL yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Jika di Jogja ada Serangan Fajar, maka di Depok ada Serangan Kilat. Inilah pertempuran paling sengit di Depok. Serangan Kilat meletus pada tanggal 16 November 1945. Dalam pertempuran itu Margonda (yang kini menjadi nama jalan utama di Depok) gugur. Buku ini memuat foto Margonda dan sedikit banyak sepak terjangnya. Tak hanya Margonda, Tole Iskandar dan Mayor Muchtar (yang namanya juga diabadikan menjadi nama jalan) juga diulas.
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, 27 Desember 1949, paska perundingan Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Orang Depok yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada hari yang sama dengan Belanda diberi pilihan: ikut ke Belanda atau bergabung dengan Republik Indonesia. Sebagian pulang kembali ke Depok dan sebagian ada yang ikut ke Belanda. Peristiwa penyerahan kekuasaan dari Presiden Depok kepada pihak Republik Indonesia di Istana Presiden Depok, juga dikisahkan di buku ini.
Depok pernah menjadi salah satu wilayah kekuasaan Gerilyawan Bambu Runcing—devisi rahasia bentukan Jenderal Soedirman dan Tan Malaka.
Buntut perjanjian Renville, 17 Januari 1948, Jawa Barat harus dikosongkan pejuang. Pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Untuk mengisi kekosongan pejuang di Jawa Barat, Jenderal Sudirman dan Tan Malaka berunding. Hasilnya, dibentuklah pasukan rahasia; Devisi Bambu Runcing (BR) dibawah pimpinan Sutan Akbar (mahasiswa kedokteran yang mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API) bersama pemuda yang mondok di asrama menteng 31-sekarang Gedung Juang).
11 Oktober 1949, BR mengeluarkan maklumat yang menentang seluruh perundingan dengan Belanda karena menilai seluruh hasil dari perundingan-perundingan tersebut hanya merongrong dan menggerogoti cita-cita kemerdekaan. Mereka menginginkan kemerdekaan 100 %. Mau tak mau mereka berhadap-hadapan dengan republik yang masih seumur jagung. Seteru semakin menjadi-jadi menyusul pemberlakuan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (RERA) di tubuh angkatan bersenjata.
Perang saudara meletus. Daerah yang dikuasai BR bergolak, termasuk Depok. BR Depok yang dipimpin seorang jawara bernama Sengkud bermarkas di Bulak Garong (sekarang perumahan Pesona Kahyangan). Sengkud tersohor. Sebelum memimpin BR dia pernah bergabung bersama Pertahanan Desa (PD). Pramoedya Ananta Toer, sastrawan legendaries itu juga pernah aktif di PD.
Kronologis peristiwa itu dicatat oleh intelejen Belanda dan dilaporkan kepada Algeemeen Secretarie (serupa Sekretariat Negara di Indonesia sekarang). Tentara NICA yang datang membonceng Sekutu pada September 1945 ke Indonesia juga mencatat kronologi peristiwa GEDORAN DEPOK. Buku ini memuat utuh dua teks kuno berbahasa Belanda dan Inggris tersebut.
Buku ini juga menceritakan jual beli serangan antara pejuang (laskar rakyat, BKR dll) yang berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan pasukan NICA dan KNIL yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Jika di Jogja ada Serangan Fajar, maka di Depok ada Serangan Kilat. Inilah pertempuran paling sengit di Depok. Serangan Kilat meletus pada tanggal 16 November 1945. Dalam pertempuran itu Margonda (yang kini menjadi nama jalan utama di Depok) gugur. Buku ini memuat foto Margonda dan sedikit banyak sepak terjangnya. Tak hanya Margonda, Tole Iskandar dan Mayor Muchtar (yang namanya juga diabadikan menjadi nama jalan) juga diulas.
Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, 27 Desember 1949, paska perundingan Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Belanda. Orang Depok yang mengakui kemerdekaan Indonesia pada hari yang sama dengan Belanda diberi pilihan: ikut ke Belanda atau bergabung dengan Republik Indonesia. Sebagian pulang kembali ke Depok dan sebagian ada yang ikut ke Belanda. Peristiwa penyerahan kekuasaan dari Presiden Depok kepada pihak Republik Indonesia di Istana Presiden Depok, juga dikisahkan di buku ini.
Depok pernah menjadi salah satu wilayah kekuasaan Gerilyawan Bambu Runcing—devisi rahasia bentukan Jenderal Soedirman dan Tan Malaka.
Buntut perjanjian Renville, 17 Januari 1948, Jawa Barat harus dikosongkan pejuang. Pasukan Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah. Untuk mengisi kekosongan pejuang di Jawa Barat, Jenderal Sudirman dan Tan Malaka berunding. Hasilnya, dibentuklah pasukan rahasia; Devisi Bambu Runcing (BR) dibawah pimpinan Sutan Akbar (mahasiswa kedokteran yang mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API) bersama pemuda yang mondok di asrama menteng 31-sekarang Gedung Juang).
11 Oktober 1949, BR mengeluarkan maklumat yang menentang seluruh perundingan dengan Belanda karena menilai seluruh hasil dari perundingan-perundingan tersebut hanya merongrong dan menggerogoti cita-cita kemerdekaan. Mereka menginginkan kemerdekaan 100 %. Mau tak mau mereka berhadap-hadapan dengan republik yang masih seumur jagung. Seteru semakin menjadi-jadi menyusul pemberlakuan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (RERA) di tubuh angkatan bersenjata.
Perang saudara meletus. Daerah yang dikuasai BR bergolak, termasuk Depok. BR Depok yang dipimpin seorang jawara bernama Sengkud bermarkas di Bulak Garong (sekarang perumahan Pesona Kahyangan). Sengkud tersohor. Sebelum memimpin BR dia pernah bergabung bersama Pertahanan Desa (PD). Pramoedya Ananta Toer, sastrawan legendaries itu juga pernah aktif di PD.
loading...
GEDORAN DEPOK
4/
5
Oleh
A.pro